Minggu, 25 Maret 2012



 Menikmati hip hop dalam balutan budaya lokal
jogja Hip Hop Foundation dan Molukka Hip Hop Community hadir mewarnai blantika musik Indonesia lewat karya-karya hip hop berbau budaya lokal. Kedua komunitas ini juga merangkul para rapper di Yogyakarta dan Maluku. 
Liriknya tak biasa dan unik. Berbahasa Jawa, tapi dengan segala keunikannya yang mencampurkan musik hip hop dengan tradisi Jawa, lagu-lagu ciptaan Jogja Hip Hop Foundation (JHF) cepat mendapat tempat di masyarakat, khususnya warga Yogyakarta. 
Lagu-lagu hip hop karya JHF, kini, sudah menjadi lagu rakyat di Yogyakarta, terutama lagu berjudul Jogja Istimewa. Lagu ini sudah seperti menjadi lagu perjuangan bagi rakyat Ngayogyakarta. Maklum, lagu ini merupakan ungkapan protes atas Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
JHF yang berdiri tahun 2003 lahir dari tangan Marzuki Mohamad yang kala itu melihat kevakuman para pelantun musik hip hop dan rapper di Yogyakarta. “Merasa sayang dengan bakat mereka, saya lalu mendirikan JHF untuk membantu memproduseri dan mempromosikan mereka,” katanya.
Meski memakai kata foundation atau yayasan, sejatinya JHF adalah sebuah komunitas yang merangkul kelompok musik hip hop di Yogyakarta. Sebut saja Jahanam yang beranggotakan Heri Wiyoso dan Balance Perdana Putra serta Rotra yang berisi Janu Prihaminanto dan Lukman Hakim.
Jadi, JHF bukan sebuah lembaga resmi. “Aslinya ini adalah sebuah komunitas seperti ruang tanpa tembok yang siapa saja bisa masuk dan keluar,” jelas Marzuki yang punya dua nama alias atau a.k.a, yakni Kill the DJ dan Chebolang.
Melalui JHF, Zuki, panggilan sehari-hari Marzuki Mohamad, menyediakan wadah bagi para rapper di Yogyakarta untuk berkreasi. Ciri khas kreasi mereka adalah memakai bahasa Jawa untuk menyatukan kebudayaan lokal dan hip hop.
Untuk makin memperkenalkan hip hop Jawa, JHF yang setiap beraksi selalu memakai baju batik memulai kegiatannya dengan pentas di kampung-kampung di Yogyakarta. Maklum, komunitas ini bukanlah pelopor Java hip hop. Pionirnya adalah G-Tribe yang sempat menelurkan album Merangkak di tahun 1997.
Misalnya, JHF menggelar acara kecil-kecilan, It’s Hip Hop Reunion dan Angkringan Hip Hop. Lalu, pada 2006-2009, mereka memulai proyek Poetry Battle yang mengeksplorasi karya-karya puisi Indonesia, mulai dari puisi-puisi tradisional hingga kontemporer, dengan media hip hop. Dari proyek itu, JHF menghasilkan dua album kompilasi Poetry Battle 1 dan Poetry Battle 2.
Konser di Amerika
Zuki bilang, sebagai sebuah komunitas yang menonjolkan kreativitas, JHF merancang semua ide kreatif dari anggotanya dan kemudian menuangkannya secara jujur. Alhasil, ada respons atau tidak dari pihak lain, mereka tak terlalu ambil pusing. “Tidak ada yang ndakik-ndakik (muluk-muluk) dengan bahasa Jawa halus, yang penting bisa berekspresi jujur,” ujarnya.
Nah, hasil dari berekspresi secara jujur itu, JHF membetot perhatian dunia. Mereka mulai diundang ke panggung internasional, diawali dengan pementasan di Esplanade, Singapura, tahun 2009. Tahun 2011, tepatnya Mei lalu, JHF manggung di New York dan San Francisco, Amerika Serikat (AS).
Usai konser tunggal di Negeri Paman Sam itu, JHF mendapat banyak tawaran kerja sama. Yang sudah pasti adalah tur 10 kota di AS tahun depan.
Tahun 2010, JHF meluncurkan film dokumenter bertajuk Hiphopdiningrat. Ini merupakan sebuah potret perjalanan hip hop Jawa. Film itu mendapatkan respons positif dari berbagai media, bahkan diundang untuk mengikuti bermacam festival film internasional.
JHF bisa tetap eksis sampai kini lantaran mereka tidak memperlakukan hasil kreativitas anggotanya seperti sebuah produk. Ketika karya tidak laku di pasar, mereka tidak lantas bubar. “Karena, hip hop Jawa sudah jadi ekspresi keseharian. Sampai tua dalam situasi apa pun, akan seperti itu,” tegas Zuki.
Kini, tawaran manggung, khususnya di Yogyakarta, terus datang. Yang membanggakan, orang-orang yang menonton konser JHF di Yogya hampir semuanya memakai baju batik. “Bayangkan, ribuan remaja menggunakan baju batik, artinya ada efek ekonomi bagi para perajin batik. Itu sangat mengesankan,” kata Zuki.
Selain JHF, ada pula komunitas hip hop yang mengusung cita rasa lokal, yakni Molukka Hip Hop Community (MHC). Komunitas ini terbentuk 1 Juli 2008 di Ambon. Pendirinya adalah Morika Tetelepta, Franz Hayaka Nendissa, Berry Nepa Papilaya, serta Althien Pesurnay. “Ide awal membentuk MHC berawal dari keresahan kami masing-masing melihat perkembangan musik di Maluku yang tidak begitu baik,” ungkap Franz.
Kelahiran MHC juga terinspirasi komunitas hip hop yang tumbuh di berbagai daerah. Hingga tahun 2008, tidak ada satu pun komunitas hip hop di Maluku. “Karena itulah, akhirnya kami sepakat membentuk MHC,” beber Franz.
MHC merupakan sebuah komunitas lintas batas dan terbuka bagi siapa saja yang mencintai Maluku dan hip hop. Anggotanya yang tersebar di beberapa kota di Indonesia membentuk grup hip hop sendiri. Misalnya The Bakutumbu dan 8Ball di Yogyakarta, Bakutumbu Clan dan Karebounce (Jakarta), Bounty Crew (Salatiga), serta Sageru dan The Nunusaku Tribe (Ambon).
Kegiatan sosial
Awalnya, MHC mengalami kesulitan menggabungkan unsur musik modern hip hop dengan lokal. “Kalau untuk menggabungkan dengan lirik lokal tidak begitu sulit, karena dialek yang kami lakukan sehari-hari sudah seperti orang yang sedang rhyming atau ngerap, apalagi kalau mendengar suara masyarakat di kampung-kampung sedang berdiskusi,” ujar Franz.
MHC ingin mengangkat nilai-nilai budaya Maluku yang telah memudar lewat musik hip hop. Tujuannya tak lain agar masyarakat Maluku dapat kembali mengingat dan peduli terhadap budayanya sendiri.
Bagi MHC, hip hop sudah memberikan inspirasi lebih karena mengandung semangat perlawanan dan perubahan. “Hip hop adalah semangat perjuangan untuk menggapai perubahan. Hip hop merupakan senjata bagi kami untuk menyampaikan pesan ke banyak orang saat kata-kata tidak lagi didengar,” tegas Franz.
Makanya, bagi mereka, musik hip hop tak semata menjadi hiburan. Dalam musik hip hop, sebenarnya, juga terkandung nilai-nilai positif bagi lingkungan sekitar. MHC berharap, musik hip hop dapat memberikan dampak perubahan lingkungan ke arah yang lebih baik.
Meski begitu, dalam menuangkan kreativitas dan menyusun lirik lagu-lagunya, anggota HMC tak melulu mengedepankan kritik sosial. “Kami suarakan semuanya beriringan, tanpa melepas nilai sosial dan budaya,” beber Franz.
Warna musik MHC masih bergaya Amerika Serikat, tempat asal usul musik hip hop. Walau terkadang memadukan unsur-unsur etnik Maluku, lirik-lirik lagunya tetap mengangkat idiom-idiom lokal. Ini yang membuat karya-karya MHC disukai pemuda di Maluku. “Musik boleh saja global tapi kami mengerjakan lirik yang sangat Maluku,” imbuh Morika Tetelepta, pendiri MHC yang lain.
Untuk terus merangkul para rapper di Maluku dan kota-kota lainnya di Indonesia, MHC kerap melakukan pertemuan untuk mendiskusikan beragam isu, mulai musik sampai budaya. “Seringkali kami kumpul di rumah teman atau tempat makan,” tutur Franz.
Namun, ada keinginan MHC yang belum terlaksana hingga kini, yakni menggelar konser bersama dengan semua anggota dalam satu panggung.
Untuk memperkenalkan MHC ke khalayak luas, MHC menumpang situs jejaring sosial seperti Facebook, Soundclick, dan Reverbnation. Lewat situs-situs itu, mereka juga membagikan karya-karya mereka secara gratis.
Awalnya, MHC berpikir, dengan cara seperti itu, mereka mampu menyuarakan sesuatu kepada banyak orang tanpa harus berorasi. Namun, ternyata, “Ada keuntungan lain, maka ke depan, kami mungkin akan tetap berpromosi melalui situs jejaring sosial,” kata Franz.
Ya, nama MHC makin dikenal berkat situs jejaring sosial. Ini membuat mereka bisa bertemu dengan Glenn Fredly, penyanyi kondang asal Maluku, yang kemudian memproduseri album MHC Beta Maluku yang meluncur Mei 2011 lalu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. “Tidak lama setelah beberapa kali diskusi, Glenn mengajak kami untuk mengangkat nilai-nilai budaya Maluku dalam bentuk album,” ungkap Franz.
Hanya saja, sebagai komunitas, MHC tidak hanya ingin menuangkan kegiatannya dalam musik hip hop saja, tapi juga dalam beragam kegiatan sosial. Contohnya, “Kami ngamen untuk membantu beberapa anak yang kekurangan biaya untuk operasi. Kami juga ambil bagian dalam beberapa aksi spontanitas untuk menolak beberapa aksi kekerasan yang terjadi di Indonesia, khususnya Maluku,” ujar Franz.

Mantra Rap Centhini di New York






Ngemut permen, permen Lolipop
Bunder tur gepeng rasane legi
Kepingin beken pingin dadi ngetop
Karyane laris tur senine mati

LIRIK lagu Jula Juli Lolipop karya sastrawan Sindhunata itu menyeruak di antara orang-orang yang lalu-lalang di Time Square, jantung Kota New York, Amerika Serikat. Empat pemuda bercelana kedodoran, mengenakan sneaker, dan bertopi bisbol tapi memakai kemeja batik itu asyik ngerap seraya menari-nari di bawah cuaca musim semi yang nyaman pada sore 12 Mei lalu.
Mereka adalah Kill the DJ (nama panggung Marzuki Mohammad), Rotra atau Ki Ageng Gantas (Janu Prihaminanto), Mamox (Heri Wiyoso), dan Balance Perdana Putra. Anggota Jogja Hip Hop Foundation, kelompok hip hop berbahasa Jawa dari Yogyakarta, yang namanya sedang berkibar ini sedang membuat klip video di jalanan kota itu menjelang pemanggungan di Asia Society-pentas kelompok hip hop Indonesia pertama di tempat kelahiran genre musik tersebut.
Beberapa pengunjung berhenti untuk menonton atau berkenalan dengan mereka. Satu-dua pemuda berdandan ala hip hop, yang biasanya menjajakan cakram lagu band indie di sekitar situ, juga menghampiri dan bertukar CD. Seorang polisi yang menjaga kawasan itu mendekat dan menanyakan asal-usul mereka. “Oh, dari Indonesia. Saya suka musik hip hop juga,” kata aparat keamanan berkulit hitam itu seraya menanyakan nama situs web dan Twitter mereka. Marzuki lantas menghadiahinya sekeping CD album terbaru mereka, Hiphopdiningrat The Soundtracks.
Kelompok ini pada mulanya sebuah komunitas. Marzuki, yang sebelumnya menggeluti dunia seni rupa, mendirikan Jogja Hip Hop Foundation untuk memberikan wadah bagi para rapper berbahasa Jawa di Yogyakarta buat berkreativitas. Belakangan, komunitas ini mengental menjadi grup yang diwakili Ki Jarot, akronim bagi Kill the DJ, Jahanam (kelompok yang beranggotakan Mamox dan Balance), dan Rotra.
Meski menyatukan rap dan bahasa Jawa, mereka tak punya konsep yang rumit soal sinkretisme. “Pokoknya, aku hanya senang dengan hip hop dan menggunakan bahasa Jawa karena itu bahasa keseharianku. Aku hanya bisa ngerap enak dan jujur kalau menggunakan bahasa ibu,” kata Janu, yang dulu tergabung dalam G-Tribe, kelompok hip hop berbahasa Jawa pertama di Indonesia. Dalam film dokumenter Hiphopdiningrat (2010) karya Marzuki, yang menggambarkan perjalanan mereka dari panggung-panggung kecil di kampung hingga panggung-panggung internasional, mereka juga menegaskan bahwa pilihan untuk mencampurkan hip hop dengan akar budaya Yogyakarta hanyalah sebentuk kejujuran yang tidak disengaja.
Namun pilihan mereka ini tampaknya berhasil memikat Asia Society, lembaga nirlaba terkenal yang menyelenggarakan pertukaran kebudayaan antara Asia dan Amerika, untuk memboyong kelompok itu ke New York. Menurut lembaga tersebut, kelompok hip hop Yogyakarta ini sangat unik dan otentik, bukan hanya karena berbahasa Jawa, tapi juga karena mengolah syair-syair kuno, seperti serat Centhini, Gatholoco, dan Jayabaya.
Sekitar setengah jam perjalanan dengan subway dari Time Square, Marzuki dan kawan-kawan tiba di auditorium Asia Society di Park Avenue. Di sinilah kelompok kecil itu tampil pada Sabtu malam, 14 Mei lalu, di hadapan 300 penonton. Sekitar 30 persen penonton berasal dari Indonesia dan selebihnya tidak mengerti bahasa Jawa, tapi kebanyakan dari mereka adalah peneliti, produser musik, direktur festival, dan jurnalis. Harga tiket pertunjukan ini US$ 25, yang terbilang murah di kota itu.
Konser itu dibuka dengan penampilan pemadu lagu Vanda Kartikasari, yang dijuluki DJ Vanda, di belakang meja pemutar piringan hitam di bawah lampu temaram dan cahaya biru di latar panggung. Dia memainkan Sinom Siji, lagu pembuka konser yang lazim dibawakan kelompok ini. Entakan-entakan khas hip hop dicampur dengan bunyi kecapi dan dawai serta suara sinden yang menyayat itu digaruk patah-patah, menyapu tipis piringan hitam.
Lalu empat rapper Jogja Hip Hop Foundation masuk dengan energi penuh yang membakar panggung, mengundang penonton menikmati lagu Jula Juli Lolipop. Di akhir lagu, Kill the DJ mengajak teman-temannya membuka salam kepada penonton. “Tidak apa-apa bila Anda tak mengerti lirik kami, tapi kami sebenarnya juga susah memahami Anda,” katanya dalam bahasa Inggris, yang disambut gelak tawa penonton.
Hip hop memang sangat populer di Amerika. Jenis musik ini lahir dari masyarakat kulit hitam yang terpinggirkan di Distrik Bronx, New York, pada 1980-an. Maka menaklukkan ibu kota hip hop itu bukanlah perkara mudah bagi pemuda-pemuda dari Kota Gudeg ini, tapi mereka punya taktik: lelucon. Di sela-sela lagu, mereka menyapa penonton, melontarkan lelucon, dan memberikan gambaran ringkas tentang lagu yang dibawakan. Ki Ageng Gantas, lulusan Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, membantu Kill the DJ dalam beberapa pengantar lagu.
“Oke. Lagu berikutnya kami ambil dari mantra Jawa kuno untuk menolak bala,” ujar Ki Ageng Gantas. Lagu Rep Kedhep, syair mantra Jawa kuno yang juga ditulis ulang oleh Sindhunata, bergulir. “Pring-pring petung, anjang-anjang peli bunting, ojo menggok ojo noleh, ono turuk gomblah-gambleh, oh, rep kedhep, rep kedhep.” Mantra itu terlontar dari mulut Mamox dan Balance, yang tampil penuh semangat tapi tetap rapi.
Penonton mulai beranjak dari tempat duduk dan ikut bergoyang mengikuti entakan musik. Suasana makin semarak dan penonton yang bergoyang semakin banyak ketika lagu Jula Juli Prex dimainkan. Para rapper kemudian melontarkan beberapa lagu andalan mereka, seperti Ngelmu Pring yang megah, Cintamu Sepahit Topi Miring yang memabukkan, Ora Cucul Ora Ngebul yang menyindir buruknya situasi politik di Indonesia, dan Gurindam 12, syair Melayu lama karya penyair besar Raja Ali Haji.
Tapi ada kalanya mereka tampil anggun, seperti ketika Kill the DJ dan sinden Soimah Pancawati membawakan Sinom 231 Serat Centhini, tembang kasmaran awal abad ke-19 dari tanah Jawa. Ini perpaduan sempurna antara kelembutan khas sinden Jawa dan gaya rap Kill the DJ yang kasar. “Atapa jroning sarira, sadino-dino gung brangti, datan nana katingalan sarirane den tangisi.” Syair tentang kerinduan ini sebenarnya sukar dipahami orang Jawa masa kini dan mungkin hanya dalang wayang kulit yang tahu betul artinya. Toh, penonton tampak terbuai dan menikmatinya.
Konser itu diakhiri dengan duet Kill the DJ dan Soimah Pancawati dalam tembang Asmaradhana 388 Serat Centhini. Di akhir lagu tersebut, Kill the DJ menyampaikan bahwa lagu itu adalah doa ketika bercinta, sebuah permohonan kepada Tuhan dan rasul-Nya untuk menjadi saksi atas persetubuhan yang suci. Penonton pun sontak memberikan tepuk tangan hangat. Konser ditutup dengan Jogja Istimewa, yang ditemani tayangan video rekaman Sidang Paripurna DPRD Yogyakarta pada Desember 2010 yang menolak RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya soal pemilihan gubernur provinsi itu. Lagu ini praktis jadi “lagu kebangsaan” rakyat Yogyakarta saat itu.
Penonton tampaknya cukup puas terhadap pentas kelompok ini. “Energi kalian luar biasa,” ujar Junior Jam, rapper New York berkulit hitam dan berambut gimbal, yang menyaksikan pertunjukan mereka malam itu.
Hal ini melegakan Rachel Cooper, Direktur Program Budaya dan Seni Pertunjukan Asia Society. Dia mengaku sempat khawatir akan sikap skeptis publik kota itu terhadap pertunjukan ini. “Java hip hop? So what? Tapi, setelah pertunjukan, saya merasa lega, karena kelompok ini sangat pandai mengikis perbedaan dengan komunikasi yang dibangun di atas panggung,” katanya.
Para rapper Yogya itu akhirnya meninggalkan Negeri Abang Sam beberapa hari kemudian. Mereka membawa lebih banyak koper daripada ketika datang. Tentu saja isinya oleh-oleh untuk orang-orang tersayang, termasuk Radjapati alias Lukman Hakim, personel kelompok itu yang gagal ikut karena tak mendapat visa. Tapi oleh-oleh yang paling mengesankan mereka adalah tawaran pentas di sepuluh kota di negeri itu pada 2012.


D.P.M.B stands for Dua Petaka Membawa Bencana or Two Disaster Bring Holocaust. D.P.M.B is a rising Hip Hop artist from Yogyakarta, Indonesia.
The name it self never intends to make a chaos, even its sounds like badass and brats. 
Running by two rhyme maker Alex a.k.a Donnero and Mamok a.k.a M2MX, DPMB strikes Indonesian Hip Hop Chart with their frist tracks called Microphone Attack in the middle of year 2007. That record is becoming one of influental record in Yogyakarta’s Hip Hop Scene and even in Indonesia’s Hip Hop Scene.
in year 2008, DPMB got into Poetry Battle #2 Compilation Album with tracks called “Gatholoco” , a hip hop songs combine with a poetry’s composition from Goenawan Muhammad. 
Next red track from DPMB was released on 2010, a singel called “Lets Begin” featuring ROTRA was becoming number one hits on TOP JIGGO on HipHopindo 
In 2011, DPMB collaborate with a famous hardcore band from Yogyakarta Serigala Malam, produce a dope track called “Boyz in Da Hood” , this track is tight and becoming a massive hits and well received among various genre of music. 
Right now, DPMB is on recording session, making some new tracks for their new album that will release on 2012. 

Sabtu, 24 Maret 2012

Tentang Sahabat [Rotra]

Suara juga kata keluar dari mulut manis
Tingkah laku yang menepis, bayangan yang menggenggam
Kemarahan yang terpendam, tenggelam terjerat terbungkam mendekam mu
Dapatimu memikat beribu pendekar tuk jadi sahabat
Semoga mereka bukanlah yang membuat, tutup rusak pintu hati
Dan mengobar - ngobarkan emosi, begitu terlalu kebat

Jikalau kau merindu sahabat, dari seribu kau dapat satu yang palsu
 
Ah bukan maksudku yang tulus, yang beri nasehat bagimu
Pikirkan dulu perhatikan dulu, bukan maksudku menghina dan buat kecewa
Tapi jangan kau segera buka berikan hati dan rasa percaya
Mungkin saja musuh serigala yang berbulu angsa, dan membuatmu terbang lupakan segalanya

Sahabat yang kau cari, tak mudah kau dapati
 
Sahabat yang kau cari, mana terus kau cari
Sahabat yang kau cari, sahabat yang sejati
Sahabat yang kau cari, sembunyi tuk lari menghindari

Sahabat yang kau cari, tak mudah kau dapati
 
Sahabat yang kau cari, mana terus kau cari
Sahabat yang kau cari, sahabat yang sejati
Sahabat yang kau cari, sembunyi tuk lari menghindari

Sahabat kau jabat erat, kau dekap dekat
 
Kala mendapat buah yang lebat, beban yang berat
Mana semangat senyum yang hangat tak lagi terlihat menghiasi harimu
Yang selalu penuh karang, semua berubah berganti menjadi amarah
Tertumpahlah darah, yang dulu satu kini pecah
Kau cari lagi mencari mencari cerita, membuatnya malu menipu menjadi sengketa
Lupakan semua cerita bahagia dikala bersama, menikmati manisnya jalanan yang penuh warna
Emas kau balas, ampas dan panas dalam hati yang culas keras dan buatmu mengganas
Mudah saja kau bicara dan tanpa peduli, yang terjadi kau ingkari menari dan lagi tuk sembunyi menghindari
Sahabat yang tak kan lagi bisa membuatmu puaskan mewah indahnya dunia

Sahabat yang kau cari, tak mudah kau dapati
 
Sahabat yang kau cari, mana terus kau cari
Sahabat yang kau cari, sahabat yang sejati
Sahabat yang kau cari, sembunyi tuk lari menghindari

Sahabat yang kau cari, tak mudah kau dapati
 
Sahabat yang kau cari, mana terus kau cari
Sahabat yang kau cari, sahabat yang sejati
Sahabat yang kau cari, sembunyi tuk lari menghindari

Jauhlah kau menjauhlah dari musuh - musuhmu
 
Yang selalu menggangu, bagai benalu yang siap meracunimu
Tapi satu yang perlu kau ingat dan kau pegang teguh hingga sahabat
Berhati - hatilah engkau penuh waspada dan rasa yang ada dan tak pernah memaksa
Sahabat setia bagai harta yang tak pernah bisa kau ukur kau timbang tuk penuhi harta dunia
Tapi mereka perisai pelindung nan kuat bagai baja
Dan juga tempat sembuhkan luka keras kejamnya dunia
Penuh dengan duri - durinya, kita manusia penuhi kisah hidup dunia
Sahabat yang telah ada dan kita punya kan kita jaga pelihara dengan cara rasa rela
Jangan menyerah karena sahabat sejati tak akan pergi menemani sampai mati setulus hati tak kan kau sesali

Sahabat yang kau cari, tak mudah kau dapati
 
Sahabat yang kau cari, mana terus kau cari
Sahabat yang kau cari, sahabat yang sejati
Sahabat yang kau cari, sembunyi tuk lari menghindari

Sahabat yang kau cari, tak mudah kau dapati
 
Sahabat yang kau cari, mana terus kau cari
Sahabat yang kau cari, sahabat yang sejati
Sahabat yang kau cari, sembunyi tuk lari menghindari