Minggu, 25 Maret 2012

Mantra Rap Centhini di New York






Ngemut permen, permen Lolipop
Bunder tur gepeng rasane legi
Kepingin beken pingin dadi ngetop
Karyane laris tur senine mati

LIRIK lagu Jula Juli Lolipop karya sastrawan Sindhunata itu menyeruak di antara orang-orang yang lalu-lalang di Time Square, jantung Kota New York, Amerika Serikat. Empat pemuda bercelana kedodoran, mengenakan sneaker, dan bertopi bisbol tapi memakai kemeja batik itu asyik ngerap seraya menari-nari di bawah cuaca musim semi yang nyaman pada sore 12 Mei lalu.
Mereka adalah Kill the DJ (nama panggung Marzuki Mohammad), Rotra atau Ki Ageng Gantas (Janu Prihaminanto), Mamox (Heri Wiyoso), dan Balance Perdana Putra. Anggota Jogja Hip Hop Foundation, kelompok hip hop berbahasa Jawa dari Yogyakarta, yang namanya sedang berkibar ini sedang membuat klip video di jalanan kota itu menjelang pemanggungan di Asia Society-pentas kelompok hip hop Indonesia pertama di tempat kelahiran genre musik tersebut.
Beberapa pengunjung berhenti untuk menonton atau berkenalan dengan mereka. Satu-dua pemuda berdandan ala hip hop, yang biasanya menjajakan cakram lagu band indie di sekitar situ, juga menghampiri dan bertukar CD. Seorang polisi yang menjaga kawasan itu mendekat dan menanyakan asal-usul mereka. “Oh, dari Indonesia. Saya suka musik hip hop juga,” kata aparat keamanan berkulit hitam itu seraya menanyakan nama situs web dan Twitter mereka. Marzuki lantas menghadiahinya sekeping CD album terbaru mereka, Hiphopdiningrat The Soundtracks.
Kelompok ini pada mulanya sebuah komunitas. Marzuki, yang sebelumnya menggeluti dunia seni rupa, mendirikan Jogja Hip Hop Foundation untuk memberikan wadah bagi para rapper berbahasa Jawa di Yogyakarta buat berkreativitas. Belakangan, komunitas ini mengental menjadi grup yang diwakili Ki Jarot, akronim bagi Kill the DJ, Jahanam (kelompok yang beranggotakan Mamox dan Balance), dan Rotra.
Meski menyatukan rap dan bahasa Jawa, mereka tak punya konsep yang rumit soal sinkretisme. “Pokoknya, aku hanya senang dengan hip hop dan menggunakan bahasa Jawa karena itu bahasa keseharianku. Aku hanya bisa ngerap enak dan jujur kalau menggunakan bahasa ibu,” kata Janu, yang dulu tergabung dalam G-Tribe, kelompok hip hop berbahasa Jawa pertama di Indonesia. Dalam film dokumenter Hiphopdiningrat (2010) karya Marzuki, yang menggambarkan perjalanan mereka dari panggung-panggung kecil di kampung hingga panggung-panggung internasional, mereka juga menegaskan bahwa pilihan untuk mencampurkan hip hop dengan akar budaya Yogyakarta hanyalah sebentuk kejujuran yang tidak disengaja.
Namun pilihan mereka ini tampaknya berhasil memikat Asia Society, lembaga nirlaba terkenal yang menyelenggarakan pertukaran kebudayaan antara Asia dan Amerika, untuk memboyong kelompok itu ke New York. Menurut lembaga tersebut, kelompok hip hop Yogyakarta ini sangat unik dan otentik, bukan hanya karena berbahasa Jawa, tapi juga karena mengolah syair-syair kuno, seperti serat Centhini, Gatholoco, dan Jayabaya.
Sekitar setengah jam perjalanan dengan subway dari Time Square, Marzuki dan kawan-kawan tiba di auditorium Asia Society di Park Avenue. Di sinilah kelompok kecil itu tampil pada Sabtu malam, 14 Mei lalu, di hadapan 300 penonton. Sekitar 30 persen penonton berasal dari Indonesia dan selebihnya tidak mengerti bahasa Jawa, tapi kebanyakan dari mereka adalah peneliti, produser musik, direktur festival, dan jurnalis. Harga tiket pertunjukan ini US$ 25, yang terbilang murah di kota itu.
Konser itu dibuka dengan penampilan pemadu lagu Vanda Kartikasari, yang dijuluki DJ Vanda, di belakang meja pemutar piringan hitam di bawah lampu temaram dan cahaya biru di latar panggung. Dia memainkan Sinom Siji, lagu pembuka konser yang lazim dibawakan kelompok ini. Entakan-entakan khas hip hop dicampur dengan bunyi kecapi dan dawai serta suara sinden yang menyayat itu digaruk patah-patah, menyapu tipis piringan hitam.
Lalu empat rapper Jogja Hip Hop Foundation masuk dengan energi penuh yang membakar panggung, mengundang penonton menikmati lagu Jula Juli Lolipop. Di akhir lagu, Kill the DJ mengajak teman-temannya membuka salam kepada penonton. “Tidak apa-apa bila Anda tak mengerti lirik kami, tapi kami sebenarnya juga susah memahami Anda,” katanya dalam bahasa Inggris, yang disambut gelak tawa penonton.
Hip hop memang sangat populer di Amerika. Jenis musik ini lahir dari masyarakat kulit hitam yang terpinggirkan di Distrik Bronx, New York, pada 1980-an. Maka menaklukkan ibu kota hip hop itu bukanlah perkara mudah bagi pemuda-pemuda dari Kota Gudeg ini, tapi mereka punya taktik: lelucon. Di sela-sela lagu, mereka menyapa penonton, melontarkan lelucon, dan memberikan gambaran ringkas tentang lagu yang dibawakan. Ki Ageng Gantas, lulusan Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, membantu Kill the DJ dalam beberapa pengantar lagu.
“Oke. Lagu berikutnya kami ambil dari mantra Jawa kuno untuk menolak bala,” ujar Ki Ageng Gantas. Lagu Rep Kedhep, syair mantra Jawa kuno yang juga ditulis ulang oleh Sindhunata, bergulir. “Pring-pring petung, anjang-anjang peli bunting, ojo menggok ojo noleh, ono turuk gomblah-gambleh, oh, rep kedhep, rep kedhep.” Mantra itu terlontar dari mulut Mamox dan Balance, yang tampil penuh semangat tapi tetap rapi.
Penonton mulai beranjak dari tempat duduk dan ikut bergoyang mengikuti entakan musik. Suasana makin semarak dan penonton yang bergoyang semakin banyak ketika lagu Jula Juli Prex dimainkan. Para rapper kemudian melontarkan beberapa lagu andalan mereka, seperti Ngelmu Pring yang megah, Cintamu Sepahit Topi Miring yang memabukkan, Ora Cucul Ora Ngebul yang menyindir buruknya situasi politik di Indonesia, dan Gurindam 12, syair Melayu lama karya penyair besar Raja Ali Haji.
Tapi ada kalanya mereka tampil anggun, seperti ketika Kill the DJ dan sinden Soimah Pancawati membawakan Sinom 231 Serat Centhini, tembang kasmaran awal abad ke-19 dari tanah Jawa. Ini perpaduan sempurna antara kelembutan khas sinden Jawa dan gaya rap Kill the DJ yang kasar. “Atapa jroning sarira, sadino-dino gung brangti, datan nana katingalan sarirane den tangisi.” Syair tentang kerinduan ini sebenarnya sukar dipahami orang Jawa masa kini dan mungkin hanya dalang wayang kulit yang tahu betul artinya. Toh, penonton tampak terbuai dan menikmatinya.
Konser itu diakhiri dengan duet Kill the DJ dan Soimah Pancawati dalam tembang Asmaradhana 388 Serat Centhini. Di akhir lagu tersebut, Kill the DJ menyampaikan bahwa lagu itu adalah doa ketika bercinta, sebuah permohonan kepada Tuhan dan rasul-Nya untuk menjadi saksi atas persetubuhan yang suci. Penonton pun sontak memberikan tepuk tangan hangat. Konser ditutup dengan Jogja Istimewa, yang ditemani tayangan video rekaman Sidang Paripurna DPRD Yogyakarta pada Desember 2010 yang menolak RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya soal pemilihan gubernur provinsi itu. Lagu ini praktis jadi “lagu kebangsaan” rakyat Yogyakarta saat itu.
Penonton tampaknya cukup puas terhadap pentas kelompok ini. “Energi kalian luar biasa,” ujar Junior Jam, rapper New York berkulit hitam dan berambut gimbal, yang menyaksikan pertunjukan mereka malam itu.
Hal ini melegakan Rachel Cooper, Direktur Program Budaya dan Seni Pertunjukan Asia Society. Dia mengaku sempat khawatir akan sikap skeptis publik kota itu terhadap pertunjukan ini. “Java hip hop? So what? Tapi, setelah pertunjukan, saya merasa lega, karena kelompok ini sangat pandai mengikis perbedaan dengan komunikasi yang dibangun di atas panggung,” katanya.
Para rapper Yogya itu akhirnya meninggalkan Negeri Abang Sam beberapa hari kemudian. Mereka membawa lebih banyak koper daripada ketika datang. Tentu saja isinya oleh-oleh untuk orang-orang tersayang, termasuk Radjapati alias Lukman Hakim, personel kelompok itu yang gagal ikut karena tak mendapat visa. Tapi oleh-oleh yang paling mengesankan mereka adalah tawaran pentas di sepuluh kota di negeri itu pada 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar