Sabtu, 04 Februari 2012

Hip Hop Jawa Juga Istimewa



Hip Hop Jawa Juga Istimewa
Lahir dari jalanan, musik hip hop berbahasa Jawa terus berkembang. Saat ini, jenis musik itu menjadi bagian keistimewaan Yogyakarta. Lagu mereka, ”Jogja Istimewa” berkumandang di hadapan puluhan ribu rakyat Yogyakarta untuk meneguhkan dukungan terhadap keistimewaan Yogyakarta.
Holobis kuntul baris, Jogja tetap istimewa. Istimewa negerinya, istimewa orangnya. Jogja istimewa untuk Indonesia,” demikian syair pembuka ”Jogja Istimewa” mengumandang dari panggung di depan Gedung DPRD DIY, Senin lalu.
Lagu rap itu dinyanyikan kelompok musik hip hop Jawa Ki Jarot (Jogja Hip Hop Foundation) untuk mendorong DPRD DIY mendukung penetapan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Senin siang itu, ”Jogja Istimewa” mengalun di radio-radio di Yogyakarta. Lagu itu dinilai pas mewakili perasaan warga Yogyakarta di tengah polemik pemilihan-penetapan kepala daerah DIY.
Meski dinyanyikan selengekan, lagu itu mengandung filosofi kuat. Sepenggal liriknya, ”Menyerang tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan, kesaktian tanpa ajian, kekayaan tanpa kemewahan,”. Lirik itu ajaran kerendahhatian.
Ki Jarot adalah kelompok musik gabungan penyanyi hip hop Jawa Marzuki Mohammad alias Kill The DJ alias Chebolang, Jahanam, dan Rotra. Mereka konsisten menyanyikan lagu rap dengan lirik berbahasa Jawa. Mereka mempertemukan musik afro-amerika dengan tradisi Jawa. Lagu Jahanam berjudul ”Tumini” sempat diputar berulang di televisi nasional.
”Hiphopdiningrat”
Perjalanan komunitas direkam pada film dokumenter ”Hiphopdiningrat”. Film berbahasa Jawa itu diputar pertama pada Festival Film Dokumenter (FFD) 2010, pekan lalu.
Film karya Marzuki dan Chandra Hutagaol tersebut merupakan kumpulan dokumentasi kegiatan komunitas Jogja Hip Hop Foundation 2003-2009. Isinya, perjalanan komunitas anak muda Yogyakarta yang bertahan dengan identitas ndesonya di tengah kuatnya pengaruh budaya Barat.
Hip hop bahasa Jawa muncul tahun 90-an dengan salah satu pentolannya, G-Stripe. Tahun 2003, Marzuki membentuk komunitas Jogja Hip Hop Foundation mewadahi kelompok musik hip hop Jawa itu. Ia menggandeng sinden terkenal Soimah, mempertebal sentuhan tradisi Jawa pada lagu-lagu mereka.
Saat menyanyi, gaya mereka khas penyanyi rap. Kacamata hitam, sepatu kets, dan topi terbalik. Namun, mereka selalu berbaju batik sebagai identitas. Musik hip hop itu pun sarat petuah dan filosofi Jawa. Bukan sumpah serapah.
Komunitas mereka khas. Sebagian besar anggota komunitas datang dari perkampungan dan teman nongkrong di jalanan. Lahirnya hip hop Jawa pun alami dan sederhana. ”Tak ada tendensi apa-apa saat menyanyi hip hop Jawa ini. Hanya ingin ngerap, tapi dengan bahasa yang kami kenal sehari-hari, bahasa Jawa,” kata Marzuki.
Poetry Battle
Eksistensi hip hop Jawa ditandai hajatan Poetry Battle (2006 dan 2009) yang diadakan Jogja Hip Hop Foundation. Peserta ditantang menyanyikan puisi-puisi Indonesia dalam musik rap. Kegiatan itu menggerakkan generasi muda menggeluti puisi-puisi yang lama terasing dari publiknya sendiri.
”Ini luar biasa, anak-anak muda ini berpuisi, menggali sastra yang lama terasing dari masyarakatnya sendiri, tanpa mereka sendiri menyadarinya,” kata Landung Simatupang, budayawan yang juga narasumber film ”Hiphopdiningrat”.
Lalu, lahirlah lagu ”Ngelmu Pring” yang liriknya diambil dari puisi Sindhunata. Bait-bait Serat Chentini pun lahir kembali.
Kini, pengaruh komunitas hip hop Jawa itu berkembang. Anggotanya dari anak SD sampai anak kuliahan. Tak sedikit dari kalangan tak mampu.
Muhammad Setiawan (15), anggota kelompok musik hip hop di Kampung Sayidan, mengatakan, di kampungnya ada dua kelompok beranggota belasan orang. ”Kami pada mulanya teman nongkrong, akhirnya jadi kelompok rap karena suka,” kata anak pedagang gorengan itu.
Di kancah internasional, hip hop Jawa kian dikenal. Pada 2009, Ki Jarot tampil di Singapura. Januari 2011, ia diundang tampil di Amerika Serikat.
Menurut budayawan Sindhunata, fenomena hip hop bahasa Jawa ini wujud kerinduan generasi muda kembali ke akar budayanya.
”Selama ini ada kekosongan di sini. Hip hop Jawa merupakan cara anak-anak muda menjawab kekosongan ini,” katanya.
Penulis dan peneliti budaya Elizabeth Inandiak mengatakan, komunitas itu salah satu keistimewaan Yogyakarta. Dari komunitas anak-anak muda, hip hop Jawa menyatukan Yogyakarta dalam Jogja Istimewa.(IRENE SARWINDANINGRUM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar