Sabtu, 04 Februari 2012

Membunuh Hip Hop



Foto ketika saya menggambar graffiti terakhir tahun 2005


“saya bosan membicarakan perihal hip-hop, tapi saya tertarik dengan apa yang bisa kita kerjakan dengan hip hop”Kalimat diatas pertama kali saya tulis tahun 2004, ketika bikin newsletter yang saya sebarkan di acara It’s Hip Hop Reunion, tepat setahun setelah saya mendirikan Jogja Hip Hop Foundation, dan itu mendasari semua pemikiran dan aktivitas saya dalam dunia hip hop di Yogyakarta khususnya dan di Indonesia.Sebuah mimpi yang terlintas di benak saya ketika pertama kali mendirikan Jogja Hip Hop Foundation 2003, adalah bagaimana membantu aktivitas rapper-rapper berbahasa Jawa, mencoba membuka pikiran dan wawasan komunitas ini lebih luas, untuk semakin sadar tentang pilihan dan resiko, sekaligus benefit yang bisa diraih.
Saya jarang sekali ngobrol langsung tentang pemikiran-pemikiran ini dengan teman-teman di Jogja Hip Hop Foundation, tapi memilih menghadirkan pengalaman langsung dengan peristiwa-peristiwa kecil yang saya bangun. Puncaknya melalui acara Poetry Battle (2006 s/d 2009), teman-teman crew hip hop yang berdomisili di Jogja bersinggungan langsung dengan para penyair, seniman, dan budayawan. Hal-hal yang tentu saja jauh dari pemikiran mereka sebelumnya. Saya yakin, hanya dengan cara ini maka proses membuka pikiran dan wawasan terjadi dengan alami.
Poetry Battle adalah kampanye kecil tentang ‘cinta’ kepada ‘yang lain’. Sebuah usaha untuk menghargai perbedaan. Sesuatu yang akhir-akhir ini terasa berat untuk didiskusikan di negeri Bhineka Tunggal Ika.
Saya akan mengutip perbincangan Iqbal, seorang rapper asal Ambon yang sempat berdomisili di Jogja dan terlibat dalam proses Poetry Battle, sebauh kalimat mengharukan yang juga kami tampilkan dalam film documenter Hiphopdiningrat;
“Saya punya pengalaman getir perang antar agama di Ambon, ketika terlibat di Poetry Battle harus mengerjakan lirik puisi dari Hersri Setiawan yang berbicara tentang ‘perbedaan’, itu menjadi sangat bermakna, kita harus semakin bisa menghargai perbedaan-perbedaan”Atau dari Balance dan M2MX (Jahanam);
“mungkin kami tidak begitu paham dengan bahasa-bahasa puisi, apalagi disitu ada beberapa mantra kuno, tapi setelah dikerjakan dengan hip hop, kami bisa memahami energi kata-kata itu”
Dua kutipan tersebut menggambarkan bagaimana peristiwa dan pengalaman akan berdampak lebih efektif dari pada jargon besar. Saya memang tidak suka jargon besar, saya selalu ingin terlibat dengan urusan-urusan kecil yang secara langsung berdampak efektif buat lingkungan (habitat) saya. Seandainya saya hanya bisa mempengaruhi 10 orang dari 100 orang yang terlibat secara langsung dengan Poetry Battle, maka saya akan menilai peran saya cukup berhasil.
Saya selalu menikmati dunia kecil yang saya cintai dan dirawat untuk tumbuh.
Tentang pilihan-pilihan ngerap dengan bahasa dan music Jawa itu pun akhirnya terjelaskan dengan sendirinya melalui proses. Bahwa setiap pilihan mempunyai batasan dan resikonya masing-masing, itu sangat saya sadari, tapi mungkin tidak sepenuhnya disadari oleh teman-teman yang lain di Jogja Hip Hop Foundation. Peran saya adalah menghadirkan peristiwa secara langsung dan strategi yang secara efektif akan membuka mata dunia tentang diri kita dan apa yang bisa kita kerjakan. Semuanya dengan proses yang sangat alami seperti Poetry Battle. Pilihan membuat film documenter Hiphopdiningrat, yang secara budget jauh lebih mahal dari pada video klip, juga bagian dari strategi itu. Film tersebut sekarang telah menjadi juru bicara yang paling efektif di dunia internasional, yang bisa menjelaskan siapa diri kita; sekelompok anak-anak nakal yang ngerap dengan bahasa Jawa.
Berkat film itu pula, sekarang undangan untuk pentas di luar negeri mulai berdatangan, dan akan semakin sering berdatangan. Tentu saya sangat berpikir tentang dunia internasional, karena saya sangat sadar sedari awal, bahwa dengan pilihan bahasa Jawa, anda akan sulit diterima di pasar atau industri musik Indonesia. Sesuatu yang bisa diraih oleh hip hop berbahasa Jawa namun akan sangat sulit diraih oleh rapper berbahasa Indonesia.
Dengan berbagai peristiwa tersebut, teman-teman di Jogja Hip Hop Foundation semakin paham, dimana seharusnya mereka berdiri dan bersikap.
Hari ini saya menengok kebelakang, melihat semua peritiwa-peristiwa, suka dan duka, selama 7 tahun perjalanan Jogja Hip Hop Foundation, dan melihat dimana sekarang saya dan teman-teman berdiri. Itu seperti mimpi saya sejak pertama kali berdiri, saya selalu mencoba membunuh arogansi dan nilai-nilai hip hop itu sendiri, juga ingin selalu dekat dengan lingkungan sosial dimana kami tumbuh. Sekarang setiap kami tampil dimanapun di Jogja, baik di kampung kumuh maupun di club, selalu dipenuhi ribuan penonton yang semuanya hafal lagu-lagu kami, meskipun diumumkan hanya dengan satu status facebook dan twitter. Pentas hip hop seperti pentas kesenian rakyat, semuanya begitu akrab,nyawiji siji mukti utawa mati (bersatu padu hidup atau mati).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar